Senin, 08 Juni 2009

UPAYA PERLINDUNGAN ANAK DARI KEKERASAN


Hadirnya Undang Undang Perlindungan Anak (UUPA) No 23 Tahun 2002, sebagai hukum positif yang memberi jaminan perlindungan anak, semestinya cukup membuat lega bagi orang tua dan kelompok masyarakat yang memiliki perhatian terhadap masalah anak di Indonesia.

Namun realitasnya, jaminan pemenuhan hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh dan berkembang, dapat berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, masih “sebatas idealitas”.

Bahkan Kak Seto mengaku prihatin terhadap perlindungan anak di Indonesia sebagaimana yang diatur UUPA No 23 tahun 2002, pelaksanaannya jauh dari harapan semua pihak. Pelaksanaan UU tersebut, saat ini mungkin hanya dilaksanakan baru sekitar 20 % saja. Fenomena kekerasan terhadap anak, dengan berbagai bentuknya nampaknya masih menjadi tren yang terus meningkat dalam masyarakat. Bebarapa data tentang kasus kekerasan yang dicatat oleh beberapa lembaga, sebagai berikut:

1) YKAI mencatat 172 kasus (1994), 421 (1995), 476 (1996).

2) PKT-RSCM tahun 2000 – 2001 mencatat 118 kasus kekerasan pada anak. Dari data tersebut teridentifikasi pelaku tindakan kekerasan adalah: tetangga (37,5 %), pacar (23 %), kenalan (9,5 %), saudara (7 %), ayah kandung (5 %), majikan/atasan (2,5 %), ayah tiri (1 %), suami (1 %) dan orang tak dikenal (13,5 %).

Waktu terjadinya kekerasan pada korban anak usia kurang dari 11 tahun antara pukul 06.00-12.00 dan kekerasan dilakukan pada malam hari untuk korban berusia 15-18 tahun.

3)Komnas PA, mencatat pada 2003 terdapat 481 kasus kekerasan dan 547 kasus pada 2004, dengan rincian adalah 221 kasus kekerasan seksual, 140 kekerasan fisik, 80 kekerasan psikis, dan 106 permasalahan lainnya.

4)KPAI sepanjang tahun 2006 menerima 376 kasus pengaduan, dengan rincian sebagai berikut: Hak kuasa asuh dan pengangkatan anak (21,8 %), Hak identitas (17,28 %), hak kesehatan dan kesejahteraan (13,56 %), Tindak kekerasan terhadap anak (12,50 %), Hak pendidikan (11,17 %), Penelantaran (10,90 %), Pelecehan seksual terhadap anak (10,30 %), Penculikan anak (2,39 %).

5) KPAID Kalsel sampai 2008 telah menerima 25 kasus anak, yakni 76 % anak sebagai korban dan 24 % anak yang berkonflik dengan hukum. Dari data tersebut maka 63 % korban adalah anak perempuan dan 37 % laki-laki, berdasarkan jenis kasus: kekerasan seksual 36 %, kekerasan fisik 12 %, kekerasan psikis 4 %, pengasuhan anak 12 %, penelantaran 16 %, kasus lainnya 20 %. Teridentifikasi pula semua pelaku kekerasan terhadap anak adalah orang yang dikenal oleh korban.

Semua data yang tercatat oleh lembaga di atas tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya dalam masyarakat. Data tersebut adalah kasus anak yang dilaporkan kepada lembaga. Sehingga, para pengamat mengindikasikan jumlah kekerasan terhadap anak yang terjadi di masyarakat kemungkinan lebih besar.

Berita kasus anak yang diungkapkan pekerja media juga masih sebatas kasus yang masuk ke dalam catatan aparat penegak hukum. Belum lagi jika diamati dari kasus anak yang ditindaklanjuti ke ranah hukum, berapa besar yang dapat diselesaikan secara adil sesuai amanat UUPA No. 23 tahun 2002?

Padahal secara jelas UUPA telah mengatur perlunya hak-hak anak untuk dilindungi secara hukum (hak hidup, tumbuh, dan berkembang; identitas; beribadah; kesehatan; jaminan fisik, mental, spiritual, sosial; pendidikan dan pengajaran; didengar pendapatnya; perlindungan dari segala bentuk kekerasan dan lain-lain). Dalam hal ini, kewajiban dibebankan kepada negara, pemerintah, masyarakat, keluarga dan orang tua.

Menjadi tanda tanya besar, mengapa aturan yang sedemikian bagus tersebut hanya sebatas wacana karena realitas yang kita lihat banyak anak Indonesia masih tidak terpenuhi hak-hak dan perlindungannya dari kekerasan dan penelantaran. Mengapa setelah lima tahun lebih berlakunya UUPA, kondisi anak relatif belum membaik? Mengapa pasal demi pasal yang sedemikian “cantik” dalam mengatur hak-hak anak, belum mampu mengatasi realitas semakin terpuruknya anak-anak Indonesia?

Salah satu penyebabnya adalah belum berpihaknya penegak hukum terhadap anak-anak. Sebagai contoh banyak kasus kekerasan seksual terhadap anak dipandang sebagai tindak kriminal biasa seperti terhadap orang dewasa, karena menggunakan pasal-pasal pelanggaran KUHP dan bukan UUPA No. 23 Tahun 2002. Sehingga efek jera bagi pelaku kekerasan terhadap anak dari sanksi hukum belum dirasakan. Hal tersebut menunjukkan kecenderungan bangsa kita dalam memecahkan masalah tidak sistematis, parsial dan tidak berpihak anak yang pada hakikatnya merupakan generasi penerus bangsa.

Tidak ditegakkannya hukum secara maksimal dan proporsional menjadi latar tidak terurainya berbagai masalah anak di Indonesia. Di samping itu, akar dari berbagai masalah yang muncul (baik anak sebagai korban) ataupun (anak sebagai palaku) adalah karena banyaknya anak yang tidak dimanusiakan oleh orang dewasa yang sepatutnya menjadi teladan dan pembimbing bagi anak yang secara psikologis dalam masa perkembangan, mulai dari lingkungan komunitas terkecil (keluarga), sekolah, masyarakat, sampai lingkungan terbesar (negara).

Dalam UUPA dan Konvensi Hak Anak (KHA) disebutkan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun. Karena memang secara psikogis anak pada hakikatnya adalah seseorang yang berada pada suatu fase perkembangan tertentu menuju dewasa dan mandiri. Karenanya, anak bukanlah sosok manusia dewasa dengan fisik yang masih kecil. Anak adalah anak, dengan karakteristik psikologisnya yang khas dalam masa tumbuh dan berkembang.

Adanya pentahapan menunjukkan bahwa anak sebagai sosok manusia dengan kelengkapan- kelengkapan dasar dalam dirinya baru mencapai kematangan hidup melalui beberapa proses seiring dengan pertambahan usianya.

Oleh karena itu, anak memerlukan bantuan, bimbingan dan pengarahan dan perlindungan dari orang dewasa (orang tua, pendidik, dan pihak lainnya). Dengan alasan itu pula UUPA dibuat untuk melindungi anak Indonesia.

Karakteristik yang dimiliki anak sangat penting untuk diketahui dan dipahami, agar anak dapat dididik, dibimbing dan dilindungi sesuai dengan keberadaannya yang khas dan unik. Beberapa karakter yang khas melekat pada umunya anak adalah: banyak bergerak, suka meniru, suka menentang, belum dapat membedakan yang benar dan salah, banyak bertanya, memiliki ingatan yang tajam dan otomatis, menyukai dorongan semangat, suka bermain dan bergembira, suka bersaing, berpikir khayal, perkembangan bahasanya cepat, berperasaan tajam, dan belum ajeg dalam pendirian.

Belum lagi perbedaan latar belakang sosial, ekonomi, budaya, pendidikan dan berbagai latar keluarga dan orang tua akan turut berperan dalam pembentukan karakter anak secara individual.

Tindak kekerasan dan penelantaran terhadap anak berdampak buruk bagi tumbuh dan kembang mereka secara optimal serta akan menyebabkan anak memiliki masalah-masalah dalam tahapan perkembangnya di masa dewasa. Harus dipahami oleh orang dewasa (orangtua, pendidik, penegak hukum dan pihak lainnya) bahwa kekerasan dan penelantaran pada anak akan menimbulkan dampak kerusakan secara fisik, emosional dan traumatis, seperti dampak kesehatan secara umum (luka fisik hingga cacat), mengalami kesulitan belajar, konsep diri yang buruk, rendah diri, tidak memiliki kepercayaan pada orang lain, dan menutup diri.

Bahkan kekerasan pada anak dapat menyebabkan anak bertingkah laku agresif, atau depresi, tidak mampu bersosialisasi dengan baik dengan lingkungannya, memunculkan tingkah laku bermasalah dan menggunakan obat-obatan terlarang, bertingkah laku menyakiti diri sendiri hingga bunuh diri. Anak korban kekerasan juga cenderung akan menjadi pelaku kekerasan setelah mereka dewasa.

Kemakmuran Rakyat Masih Impian

DARI 3,9 juta keluarga nelayan miskin di Indonesia, mungkin hanya seorang Rokhmin Dahuri yang bisa menjadi profesor dan pernah menjadi menteri. Sisanya bernasib tragis, hidup melarat di negara yang dua pertiga wilayahnya adalah lautan.

SEJAK Republik Indonesia berdiri hampir 60 tahun silam, kekayaan dan kemakmuran rakyat kecil, yakni petani dan nelayan, hanya ada di dalam syair lagu. Kekayaan Indonesia memang dikuasai negara dan dikelola para penguasa yang datang silih berganti. Tetapi kemakmuran rakyat adalah impian, kemiskinan dan kemelaratan dalam pelbagai bentuk senantiasa menghinggapi bagian terbesar rakyat Indonesia.

Rokhmin Dahuri yang hingga SMP dan SMA masih melaut membantu ayahnya di pesisir pantai utara (pantura) Jawa, merasakan pahitnya kehidupan nelayan sebagai bagian komponen penting namun tersisih dari perhatian pemerintah. Bahkan, untuk membiayai pendidikan di perguruan tinggi, dia harus berjualan ikan asin dari Indramayu di Kota Bogor.

Berdasar pengalaman hidupnya, Rokhmin berpendapat ada tiga penyebab kemiskinan, yakni faktor sumber daya alam serta lingkungan, problem struktural, dan kultural.

Kemiskinan karena faktor alam dan lingkungan disebabkan degradasi laut dan pesisir karena penggundulan hutan bakau, reklamasi, serta pencemaran yang mengakibatkan habitat biota laut rusak berat. Terlebih tidak ada upaya nyata untuk memperbaiki kondisi tersebut sehingga mengakibatkan overfishing dan pemanenan lebih tinggi dari recovery alami.

Contoh nyata adalah nelayan pantura Jawa di zone 1-tepi pantai hingga 4 mil ke laut-sudah overfishing sejak tahun 1986. Kondisi serupa terjadi di pelabuhan perikanan terbesar di Indonesia, yakni Bagansiapi-api sejak awal 1990-an. Overfishing juga terjadi di sekitar Makassar dan Selat Bali dengan menurunnya jenis tangkapan tertentu, seperti lemuru dan ikan terbang.

Kemiskinan struktural merupakan dampak kebijakan pemerintah yang tidak kondusif terhadap nelayan dan masyarakat pesisir terhadap akses ekonomi produktif berupa permodalan, teknologi (penangkapan, pengolahan, dan sebagainya), infrastruktur, akses pasar, dan informasi (lokasi penangkapan ikan, situasi harga, dan sebagainya).

Faktor terakhir adalah kemiskinan kultural karena budaya masyarakat nelayan dan pesisir yang belum mampu menyesuaikan diri dengan pola ekonomi pasar. Kemungkinan, masyarakat tipe ini secara psikologis tertekan-kehidupan di laut lebih keras dari bertani-sehingga mereka cenderung memerlukan stress release.

Upaya melepas stres ini muncul dalam pola kehidupan yang boros saat mendapat penghasilan lebih. Akhirnya mereka terlibat utang kepada tengkulak atau juragan kapal.

Kemiskinan kultural ini juga berdampak pada sulitnya nelayan menerima inovasi. Semisal, pada tahun 1970-an sempat diperkenalkan es batu untuk mengawetkan tangkapan di atas kapal. Tetapi upaya ini tidak serta-merta diterima karena nelayan merasa rugi membuang uang untuk membeli es yang cair di atas kapal. Setelah boks styrofoam diperkenalkan untuk menyimpan es agar lebih tahan lama, barulah budaya es ini diterima nelayan.

Dari ketiga faktor kemiskinan, persoalan struktural menjadi kunci permasalahan. Sebabnya, tidak ada sense of empathy dan urgensi dari birokrasi, tidak ada pengalaman nyata para birokrat dalam menangani masyarakat nelayan dan pesisir, serta terutama sekali jajaran birokrasi pun masih harus bergelut untuk memenuhi kebutuhan hidup.

SEKTOR kelautan dan pertanian sebetulnya adalah industri yang berbasis local resource yang memiliki comparative advantage sebagai mesin penghasil devisa. Jumlah tenaga kerja yang dapat diserap, selain 3,9 juta keluarga nelayan, ada sekitar 3 juta angkatan kerja yang terkait dengan sektor tersebut.

Dengan demikian, secara keseluruhan ada sekitar 16 juta rakyat Indonesia yang menggantungkan hidup di sektor laut dan pesisir.

Belum lagi peluang penyerapan tenaga kerja dengan asumsi pembukaan satu juta hektar tambak udang akan mampu menyerap 3 juta tenaga kerja. Sedangkan pembukaan lahan budi daya rumput laut seluas 200.000 hektar akan menyerap satu juta tenaga kerja.

Namun, persoalan utama adalah mengatasi kemiskinan struktural yang berdampak pada pola penghasilan yang selalu di bawah pengeluaran nelayan. Salah satu akar permasalahan adalah tidak adanya koordinasi produksi perikanan dan pasar.

Sebagai contoh, di saat tertentu, ikan kembung bisa mencapai harga Rp 10.000 sekilo. Namun, waktu panen raya harga jatuh hingga Rp 2.000 per kilogram.

Seharusnya, Rokhmin menambahkan, ada kawasan industri terpadu di permukiman nelayan yang seperti dilakukan Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Dari pembuatan jaring, stasiun pengisian bahan bakar, dan industri kecil dibangun di permukiman nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Contoh keberhasilan adalah pasar ikan terbesar di dunia di Tokyo dan pelabuhan perikanan Bu San di Korea Selatan.

Di Indonesia telah diupayakan membangun stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN) yang dirintis sejak 2004 dengan target membangun 1.260 unit hingga tahun 2007.

Sampai saat ini telah dibangun sekitar 175 stasiun dan keberadaan mereka berhasil menekan harga bahan bakar di tingkat nelayan. Sebelumnya di sejumlah daerah, nelayan membeli solar hingga harga Rp 5.000 atau Rp 10.000 per liter di Pulau Miangas, Sulawesi Utara.

Demikian pula upaya membangun dock yard kecil, fasilitas cold storage, dan jaringan informasi pasar di perkampungan nelayan perlu mendapat dukungan. Juga yang berhasil dirintis adalah pembangunan cold storage di Muara Baru, Sukabumi, dan Pekalongan.

Bahkan kini ada bank khusus nelayan, yakni Bank Danamon Pelabuhan Ratu. Namun, yang perlu dicermati adalah kesinambungan kebijakan ini karena di sejumlah daerah kebijakan pemerintah pusat tidak ditindaklanjuti.

Pemerintah harus berfokus mengembangkan ekonomi kecil yang langsung dirasakan rakyat dan akan meningkatkan pajak. Kebijakan Thaksin Sinawatra, Mahathir Mohamad, dan Zhu Rong Ji dengan menetapkan bunga rendah bagi usaha kecil berhasil menggerakkan ekonomi negara mereka.

Mereka memerintahkan perbankan menyalurkan kredit bagi usaha kecil sekaligus memantau penyaluran. Pejabat tertentu ditunjuk dan jika terjadi penyimpangan mereka harus bertanggung jawab.

SEKJEN Transparansi Internasional (TI) Indonesia Emmy Hafild mengusulkan langkah paling realistis mengatasi kemiskinan melalui affirmative action, yakni mendorong pemerintah mengambil kebijakan politis tegas dan bukan sekadar proyek masif seperti "Green Revolution" di masa lalu melalui proyek pertanian massal di masa Soeharto.

Menurut Emmy, pemerintah harus mencermati perbedaan kemiskinan di perkotaan, pedesaan, jender, dan pelbagai jenis kemiskinan sesuai karakteristiknya. Langkah yang harus dilakukan adalah memetakan kantong kemiskinan di seluruh Indonesia. Berangkat dari data tersebut, bisa dipetakan permasalahan dan pola penanganan sesuai kebutuhan.

Perbedaan karakteristik kemiskinan dan penanganannya juga dilakukan di Amerika Serikat. Persoalan kemiskinan perkotaan seperti di daerah Queen dan Bronx di New York dijawab dengan pengembangan pendidikan dan penataan low cost housing, counseling, dan pelbagai langkah penanganan terpadu. Di daerah pedesaan dilakukan perlindungan terhadap pertanian kecil dari corporate farming.

Dua langkah utama yang harus diambil pemerintah menyikapi kondisi ini adalah social based approach, yakni menghindari economy based approach yang menekankan pada pembukaan lapangan kerja atau memberi stimulan pada kelompok usaha besar belaka. Social based approach berfokus langsung pada masyarakat miskin. Sedangkan pandangan memberi insentif bagi usaha besar untuk mendorong pemberantasan kemiskinan tidak lagi valid. Begitu banyak perusahaan besar berdiri, tetapi orang miskin tetap bertambah dan kesejahteraan buruh di bawah garis kemiskinan.

Kedua kebijakan struktural memprioritaskan pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat lokal. Berangkat dari pengalaman "Oil Curse" yaitu daerah penghasil minyak justru menjadi kantong kemiskinan, pemerintah harus mengubah total pola pengelolaan dan terutama pemanfaatan pendapatan dari sektor migas dan pertambangan.

Pemerintah harus secara terbuka mengeluarkan data pendapatan dari sektor migas dan pertambangan. Seluruh hasil sektor tersebut digunakan untuk pengentasan kemiskinan dan tidak untuk membiayai belanja rutin.

Langkah-yang dimotori John Blair dengan istilah extractive industry transparency initiative-sudah ditempuh oleh Kazakstan yang mencadangkan pendapatan migas sebagai dana abadi, diumumkan terbuka dan dapat diakses via internet. Langkah serupa dicoba di Nigeria dan beberapa negara penghasil migas lain.

Khusus di Indonesia, dapat dimulai pelaksanaan pendidikan gratis di wilayah yang tertinggal atau daerah penghasil migas. Pendidikan gratis dari SD-SMA bahkan hingga jenjang perguruan tinggi.

Pengalihan alokasi dana migas ini tidak merugikan keuangan negara karena komponen terbesar pendapatan berasal dari sektor pajak, sekitar 70 persen, dari seluruh pemasukan. Solusi kemiskinan ini sangat mendesak mengingat lebih dari 50 persen penduduk Indonesia hidup dengan pendapatan kurang dari 2 dollar AS per hari (sekitar Rp 19.000 sehari) dan sekitar 10-20 persen hidup dengan penghasilan kurang dari 1 dollar AS per hari (sekitar Rp 9.000 sehari). Itu tentu membuat Human Development Indeks Indonesia semakin terpuruk.

Pembangunan di pusat dan daerah dalam jangka pendek dan menengah harus berani memasang target berapa persen kemiskinan dan indikator kesejahteraan lain yang berhasil dicapai. Ini untuk menghindari "pemroyekan" kemiskinan.

Saat ini banyak daerah menaikkan data orang miskin untuk mendapat insentif lebih dari pusat. Padahal, anggaran sebagian besar daerah mengalokasikan 70 persen belanja untuk membiayai birokrasi dan sedikit saja untuk pembangunan.

Dalam situasi tersebut yang tercipta adalah negara kaya dengan bagian terbesar penduduk senantiasa miskin.

KOTA MANGGA

Jika Anda berkunjung ke Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat sebelum menuju jantung kotanya, maka Anda bisa menikmati pemandangan kota tua dengan sejumlah bangunan tua yang berada di Jalan Veteran dan Jalan Cimanuk Indramayu. Bahkan jika harus melewati Desa Penganjang dan Kelurahan Paoman, sejumlah bagunan tua bersejarah akan banyak dijumpai di sana. Meski kondisinya terkesan tidak terawat dengan baik, bahkan sebagian sudah pada hancur rata dengan tanah, namun yang tersisa masih menyimpan kesan klasik dan antik.

kota-tua-indramayuBagi para pelancong yang menggemari wisata sejarah, tak ada salahnya berkeliling di pinggiran Indramayu kota. Bangunan tua bergaya kolonial (Belanda) dan Eropa masih bisa dinikmati di sepanjang Jalan Veteran, Jalan Cimanuk, Kelurahan Paoman, Jalan Raya Penganjang Indramayu. Bahkan ada juga di wilayah Kecamatan Jatibarang, Indramayu.

Kesan kumuh dan kusam, barangkali itulah salah satu kawasan kota tua Indramayu yang sering kali dijuluki kawasan Pecinan, konon, karena rumah-rumah antik tadi mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa. Mereka hijrah ke Indramayu diperkirakan sejak 1902. Bahkan, konon, sebelum tahun itu pun sekitar Abad XVIII pun sudah bercokolan warga keturunan Tionghoa bermukim sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk Indramayu yang tak jauh dari jantung kota.

Kemudian mereka mendirikan tempat peribadatan Kelenteng Vihara Dharma Indramayu dan Kelenteng Jatibarang. Setelah itu bermunculan sejumlah sejumlah Gereja ketika Belanda menjajah Kabupaten Indramayu dengan markas utama di Gedung Duwur di Desa Penganjang.

Meski dalam Buku Sejarah Indramayu yang ditulis H. A. Dasuki dkk tidak dijelaskan secara detail mengenai sejumlah banguan tua itu, namun sejumlah kesaksian sejarah dan warga sekitar DAS Cimanuk menerangkan, bahwa berdirinya sejumlah bangunan kuno itu seiring dengan perkembangan Sungai Cimanuk yang telah dijadikan pelabuhan bongkar muat barang-barang kebutuhan pokok masyarakat saat itu.

Karwan (81), salah seorang saksi sejarah menerangkan, saat kawasan Cimanuk itu dijadikan pelabuhan, ia sudah remaja. Bahkan ia pernah menjadi kuli bongkar muat barang sperti beras, garam, gula dan gandum. Ada pula kapal-kapal besar membongkar pupuk jenis urea untuk sektor pertanian.

Namun karena pengurusan administrasi pelabuhan dikuasai kolonial Belanda, sehingga warga pribumi sulit untuk mengakses dagang dengannya. Hanya keturunan warga Tionghoa dan bangsa Portugis yang rupanya berhasil menggalang hubungan dagang dengan para Londo (Belanda).

Hasil bumi warga Indramayu diangkuti dan dikirim ke kawasan Eropa oleh Belanda melalui pelabuhan Cimanuk Indramayu. Bekas pendaratan atau berlabuhnya kapal-kapal besar pun masih berdiri hingga kini, meski letaknya sekarang berada di belakang Mesjid Agung Indramayu. Sebongkah kayu jati besar dan ditembok dengan semen masih berdiri di sana.

Ketika Belanda sudah keterlaluan menginjak-injak warga pribumi Indramayu, sejumlah komponen warga pun mulai melancarkan aksi perlawanan terhadap kolonial itu. Karwan yang semula ikut kuli kasar di gudang-gudang pangan, mulai angkat senjata bersama rekan-rekannya yang bergabung dengan Badan Ketahanan Rakyat. “Kami melakukan aksi perlawanan terhadap kebiadaban Belanda. Dalam aksi itu, banyak teman seperjuangan yang terbunuh,” ujar Karwan yang sekarang memilih sebagai petani di Desa Panyindangan Wetan, Kecamatan Sindang, Indramayu.

Namun karena sudah termakan usia, Karwan pun kini kondisi badannya sudah agak rapuh. Sisa hidupnya hanya ia lewati dengan banyak duduk-duduk di rumahnya yang sederhana. Ia masih keturunannya Salim, salah seorang pejuang kemerdekaan Indramayu yang menjadi tangan kanan, M. A. Sentot, tokoh pejuang Indramayu yang memimpin “Pasukan Setan” berlambang tengkorak dalam aksi mengusir penjajahan Belanda pada 1947.

Kini, sisa-sisa Pelabuhan Cimanuk Indramayu masih bisa bicara dengan sejumlah gedung-gedung tua dan bekas gudang pangan, meski kondisinya terkesan tak terawat lagi. Bupati Indramayu H. Irianto MS Syafiuddin (Yance) memang pernah mengatakan, bahwa kawasan kota tua Indramayu hendak direhabilitasi untuk dilestarikan. Tujuannya, kawasan tersebut akan dijadikan kawasan wisata sejarah Indramayu masa lalu.

“Kawasan Sungai Cimanuk yang dekat dengan jantung kota akan dijadikan obyek wisata air dengan naik perahu. Para wisatawan bisa menikmati gedung-gedung tua bersejarah sambil naik perahu motor,” ungkap Umar Budi mengutip keinginan Yance sewaktu ia masih memimpin Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Indramayu.

Kini, gedung-gedung tua Indramayu tampaknya masih tersimpan misteri “bicara” soal sejarah. Namun entah kapan keberadaannya akan dirawat dengan baik agar tetap dikenang oleh anak dan cucu.

Sejarah Indramayu

Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bengelen Jawa Tengah bernama Raden Wiralodra yang mempunyai garis keturunan Majapahit dan Pajajaran, dalam tapa baratanya di kaki Gunung Sumbing mendapat wangsit.

“Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, pergilah kearah matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah disana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana. Kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tujuh turunanmu akan memerintah disana”. Demikianlah bunyi wangsit itu.

R. Wiralodra ditemani Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana. Tokoh-tokoh lain dengan pendiri pedukuhan dimaksud adalah Nyi Endang Darma yang cantik dan sakti, Aria Kemuning putra Ki Gede Lurah Agung yang diangkat putra oleh Putri Ong Tien istri Sunan Gunung Jati. Ki Buyut Sidum / Kidang Pananjung seorang pahlawan Panakawan Sri Baduga dari Pajajaran, Pangeran Guru, seorang pangeran dari Palembang yang mengajarkan Kanuragan dengan 24 muridnya.

Pedukuhan tersebut berkembang dan diberi nama “Darma Ayu” oleh R. Wiralodra yang diambil dari nama seorang wanita yang dikagumi karena kecantikan dan tkesaktiannya “Nyi Endang Darma”, serta dapat diartikan “Kewajiaban Yang Utama” atau “Tugas Suci”.

Pedukuhan Cimanuk yang diberi nama “Darma Ayu” yang kemudian berubah menjadi “Indramayu”, setelah terbebas dari kekuasaan Pajajaran pada tahun 1527, diproklamirkan berdirinya oleh R. Wiralodra pada hari Jum’at Kliwon tanggal 1 Muharram 934H atau 1 Sura 1449 dan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527. Titimangsa tersebut resmi sebagai Hari Jadi Indramayu.

Setelah 1527, Daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi :

Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal.
Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh.
Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni.

Zaman pemerintahan Daenles (1806 – 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan kerajaan Demak. Tahun 1546 menjadi bagian kesultanan Cirebon.

Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian keultanan Cirebon dan bagian baratnya ermasuk dalam wilayah kerajaan Mataram.

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daenles (1806 – 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada zaman kompeni menjadi ajang masuk pertempuran segitiga antara kompeni, Mataran dan Banten. Tahun 1706, Indramayu jatuh kedalam kekuasaan kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, Indramayu mempunyai perjalanan yang sama berada dalam kekuasaan penjajahan.

Minggu, 07 Juni 2009


Sejarah putra Tumenggung Gagak Singalodra dari Bagelen Jawa Tengah bernama Raden Wiralodra yang mempunyai garis keturunan Majapahit, sedang Tumenggung Gagak Singalodra sendiri adalah keturunan Nyi Ageng Bagelen yang menjadi salah satu barisan juru wisik untuk membaca masa depan di lingkaran kerajaan Mataram,dengan demikian Raden Aryo Wiralodra bukan orang sembarangan, ia ditugaskan dalam "misi khusus" membebaskan dari kekuasaan Padjajaran oleh kerajaan Mataram untuk membuka daerah di lembah Cimanuk, dalam tapa baratanya di kaki Gunung Sumbing mendapat wangsit.

"Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di kemudian hari, pergilah kearah matahari terbenam dan carilah lembah Sungai Cimanuk. Manakala telah disana, berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan dan menetaplah disana. Kelak tempat itu akan menjadi subur dan makmur serta tujuh turunanmu akan memerintah disana". Demikianlah bunyi wangsit itu.

R. Wiralodra ditemani Ki Tinggil dan berbekal senjata Cakra Undaksana. Tokoh-tokoh lain dengan pendiri pedukuhan dimaksud adalah Nyi Endang Darma yang cantik dan sakti, Aria Kemuning putra Ki Gede Lurah Agung yang diangkat putra oleh Putri Ong Tien istri Sunan Gunung Jati. Ki Buyut Sidum / Kidang Pananjung seorang pahlawan Panakawan Sri Baduga dari Pajajaran, Pangeran Guru, seorang pangeran dari Palembang yang mengajarkan Kanuragan dengan 24 muridnya.

Pedukuhan tersebut berkembang dan diberi nama "Darma Ayu" oleh R. Wiralodra yang diambil dari nama seorang wanita yang dikagumi karena kecantikan dan tkesaktiannya "Nyi Endang Darma", serta dapat diartikan "Kewajiaban Yang Utama" atau "Tugas Suci".

Pedukuhan Cimanuk yang diberi nama "Darma Ayu" yang kemudian berubah menjadi "Indramayu", setelah terbebas dari kekuasaan Pajajaran pada tahun 1527, diproklamirkan berdirinya oleh R. Wiralodra pada hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharram 934H atau 1 Sura 1449 dan jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527. Titimangsa tersebut resmi sebagai Hari Jadi Indramayu.

Setelah 1527, Daerah Indramayu terbagi dalam tiga propinsi meliputi :

Propinsi Singapura, meliputi sebelah timur sampai Sungai Kamal. Propinsi Rajagaluh, meliputi daerah tengah sampai Jati tujuh. Propinsi Sumedang, meliputi bagian barat sampai Kandanghaur.

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni.

Zaman pemerintahan Daenles (1806 - 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada masa ini berada dalam kekuasaan kerajaan Demak. Tahun 1546 menjadi bagian kesultanan Cirebon.

Tahun 1615 sebelah timur Sungai Cimanuk menjadi bagian keultanan Cirebon dan bagian baratnya termasuk dalam wilayah kerajaan Mataram.

Tahun 1681, mulai dikuasai kompeni. Zaman pemerintahan Daenles (1806 - 1811) daerah sebelah barat sungai Cimanuk dimasukan dalam prefektur Cirebon Utara. Pada zaman kompeni menjadi ajang masuk pertempuran segitiga antara kompeni, Mataran dan Banten. Tahun 1706, Indramayu jatuh kedalam kekuasaan kompeni Belanda seluruhnya seperti halnya dengan daerah-daerah lain, Indramayu mempunyai perjalanan yang sama berada dalam kekuasaan penjajahan.